Day 45: Quintessential

bccfd2d9312708b2af6188fc400642a7

Fever, tea and you

Joan tahu kalau harinya akan begitu panjang kala pagi ini ia terbangun dengan suhu badan di atas normal. Pukul tujuh pagi, ia menaruh teh kamomil hangatnya di atas meja ruang tengah sembari kembali sibuk mengeratkan selimut yang membungkus tubuhnya. Telinganya berdengung-dengung, wajahnya masih sedikit merah dengan patch penurun panas bergelantungan di dahi. Namun ia harus mengesampingkan hal-hal tersebut karena nyatanya ada hal lain yang lebih patut di khawatirkan.

Contohnya seperti Kim Taehyung.

“Jangan memberiku bermacam-macam alasan lagi, Tae,” Si gadis berbicara lagi setelah merasakan hangat sepenuhnya menghilang dari tenggorokan. Suaranya terdengar seperti kodok. “Sadar tidak kalau saat ini kau tidak hanya menghindari Alpha, tapi aku juga.”

“I’ve said sorry, at least.” Menghempaskan diri pada spasi di sebelah Jo, Taehyung menggumam pelan. Ia diam sebentar sebelum melanjutkan, berusaha setidaknya menyembunyikan rasa bersalah. “Aku tidak menghindarimu, Jo. Hanya butuh waktu sedikit untuk berpikir.” Ia menyugar rambut dengan gusar. ”Beberapa hari ini rasanya seperti akumulasi beberapa tahun masalahku, aku benar-benar tidak pernah merasa sebersalah ini sebelumnya.”

Brilliant, aku sebenarnya bisa saja menolak untuk mencampuri urusan percintaanmu.” Si gadis bangun dari posisi tidurnya, hanya dengusan-dengusan kesal yang mengisi konversasi mereka sebelum ia melanjutkan. “Aku tidak begitu saja memenuhi permintaanmu keluar di tengah salju saat malam tahun baru hanya demi mendengar alasan tidak masuk akalmu lalu tiba-tiba saja ditinggal selama tiga hari.”

Jo ingat bagaimana pembicaraan mereka malam itu selesai dengan sangat rancu, ia meraih kenop apartemennya dengan pikiran-pikiran tentang Taehyung menggelayuti kepala malam itu. “Serius, kemana saja sih kau selama tiga hari ini?” Melihat Taehyung diam sejenak, si gadis memilih untuk meraih cangkirnya kembali, menyisip teh yang sudah tak lagi panas

“Just, ehm, thinking?” Timpalnya sambil mengerutkan alis. Helaan napas keluar begitu saja dari si pria. “Setelah membicarakan masalahku denganmu aku jadi berpikir dan mempertanyakan banyak aspek dari diriku sendiri.” Sekon berikutnya maniknya kembali menatap punya Jo. “O, kemarin Jimin sempat berkunjung omong-omong.”

“Jangan mengalihkan pembicaraan dengan Jimin sebagai alasan.” Jo menatap si pria skeptis ditengah sisipan tehnya.

Okay, okay

Atensi Taehyung teralih pada dahi Jo, jemarinya terulur mengusap dahi si gadis perlahan. “Sudah minum obat? Aku berlari seperti orang panik saat membaca pesan kalau kau sakit.”

“Uhm, uhm.” Jo memutar bola mata. “Setelah tiga hari kau mengabaikan semua pesanku.”

Sorry.”

“Jadi setelah menghilang tiga hari ini apa kau sudah mendapatkan−entahlah, hal-hal yang ingin kau dapatkan?” Si gadis menaruh kepalanya pada sandaran sofa, tidak berusaha menatap lawan bicara alih-alih menatap langit-langit kamar apartemennya dengan pikiran kosong. Rasanya kepalanya seperti melayang-layang.

Kendati ia mengharapkan sesuatu dari Taehyung, si karib memilih untuk diam dan sungguh, ia menghargai itu.

Well, ini bukan pertama kalinya kau menolak perempuan.” Si gadis angkat bicara lagi menanggapi keterdiaman karibnya. “Tapi aku rasa menolaknya setelah mengajak kencan merupakan kasus yang sama sekali berbeda.”

“Dan langsung menyuruhnya pulang? O, Yatuhan, kemana pikiranku saat itu.” Balas Taehyung teredam karena jemarinya menutupi wajah dengan gusar.

“O, sebenarnya aku sudah pernah memberitahu kalau pikiranmu tak pernah ada di kepalamu, Tae.”

“Kenapa sih, kau selalu berbicara buruk tentangku?”

Hangat menjalar pada wajah Jo sesaat kikikan terlepas dari kerongkokannya.

Pada sepanjang Joan menjalani hidup, lebih dari setengahnya ia habiskan bersama si pria. Bahkan dengan mendengar suara tawanya saja ia akan tahu kalau itu karibnya. Joan mengerti kendati ia sangat mudah bersosialisasi−kontras dengannya−Kim Taehyung sangat payah dalam hal mengekspresikan perasaan yang lantas membuat orang-orang yang tidak mengenalnya salah paham.

Maka ia mengembalikan cangkirnya ke atas meja kemudian mengusap punggung pria disampingnya secara perlahan.

“Tae, kalau aku boleh bicara aku rasa merupakan hal normal jika manusia berubah pikiran. Perasaan manusia akan terus berubah, bisa saja kau jadi penggemar berat sepak bola lalu seminggu kemudian kau menjadi bosan.” Sambung Jo membuat analogi-analogi konyol. “Manusia bisa saja merasa ragu dan semesta tidak bisa begitu menyalahkanmu atas hal-hal manusiawi seperti itu. Kau memberi tahu Alpha, itu bagus, namun caramu mengungkapkan perasaanmu yang salah.”

“Lalu apa perbuatanku dapat dibenarkan?” Menjadi kebiasaan Taehyung menatap Jo seperti ini ketika ia butuh untuk ditenangkan.

“Dibenarkan? Kau bercanda? Tentu saja tidak, tapi mungkin bisa dimaafkan.” Nada bicaranya menurun pada akhir kalimat. “Dan berhenti meminta pembenaran padaku, mungkin aku bisa membuatmu sedikit lebih baik, Tae, tapi tetap saja Alpha yang bisa membuat rasa bersalahmu lenyap.”

Jo akui, sikap Taehyung malam itu jelas sungguh tidak etis. Kalau jadi Alpha dia pasti sudah menonjok muka Taehyung. Yang menjadi masalah adalah yang mengajak kencan bukan Alpha, tapi karibnya sendiri.

“Jadi yang harus kau lakukan pertama kali saat semester baru dimulai adalah menemui gadis itu dan minta maaf dengan benar.”

Saat itu Taehyung begitu saja mengeluarkan tawa miris “Aku rasa aku akan dibunuh saat itu juga oleh teman-temannya.” Mukanya seperti anak anjing. “Ada cara lain?”

“Kalau dia cukup baik dengan tidak menekanmu untuk memberi alasan kenapa kau menyudahi kencanmu secara sepihak, kurasa ia akan memaafkanmu kalau kau minta  secara layak.”

Ia sempat menimang sebelum bersuara. “Tapi kau harus ada di dekatku terus ya, kalau-kalau ada kejadian yang tidak diinginkan.”

Tentu ada banyak waktu di mana Jo bersyukur atas presensi Kim Taehyung dalam hidupnya, tapi yang selalu membuatnya kesal adalah Jo seperti selalu ditarik untuk ikut menyelesaikan masalah yang Taehyung buat. Sekecil maupun serumit apapun itu.

“O, honestly i’ve been dying to ask this to you.” Satu tarikan napas dibuat. “Did you regret it, perhaps?”

Dengan segala determinasi yang terpantul dari maniknya, Taehyung menggeleng. Namun yang membuat senyum di bibir Joan mengembang adalah karena ia tahu, mungkin benar si karib tengah diliputi rasa bersalah bukan main, tapi ia tak akan pernah menyesal karena mengikuti kata hatinya.

Hening menyusup ketika si karib berdiri, membiarkan hangat menghilang dari pundak Jo, mengambil cangkir si gadis dan cangkirnya sendiri yang masih sisa setengah. “Sebentar ya, aku isi lagi cangkirmu lalu istirahatlah.”

Namun yang tidak di ketahui oleh si karib bahwa dibalik segala tarikan kurva pada bibir Jo dan semakin banyak langkah Taehyung menuju dapur, bertambah banyak pula pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada kepala si gadis, membuat kepalanya semakin pening.

Ia merubah atensi pada jam di dekat televisi. Pukul sebelas siang, wajahnya bertambah panas, hari Joan benar-benar akan berlalu begitu panjang.

“Ehm, Jo?” Sebelum tangannya disibukkan dengan teko teh, Taehyung menoleh singkat.

“Hm?”

“Thanks.”

end—

 

Author: Cosmos

Center of the milky way

Leave a comment